Kudha Lumping Antara Tradisi dan religi
Kesenian kuda lumping merupakan kesenian rakyat tradisional Jawa sebagai
salah satu unsur kebudayaan peninggalan nenek moyang yang diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya, dimana eksistensinya mengandung nilai-nilai
keindahan/ estetika. Karena didalamnya terdapat berbagai macam unsur-unsur
seni, diantaranya seni tari, seni musik, seni vokal dan sebagainya. Paguyuban
seni kuda lumping “Kudho Manunggal” yang berada di dusun Donolayan desa
Donoharjo kecamatan Ngaglik kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta
merupakan salah satu kelompok kesenian kuda lumping yang masih eksis hingga
saat ini.
Kelompok kesenian kuda lumping Kudho Manunggal merupakan gabungan dari
dua kelompok kuda lumping yang ada di dusun Donolayan, yaitu kelompok Bayu Manunggal
dan kelompok Kudho Sembrani, atas kesepakatan warga sejak tanggal, 16 Juli
2010. Dalam pertemuan tersebut juga telah disepakati untuk mengadakan pentas
tahunan, dengan penanggung jawab pelaksana tiap RT secara bergiliran.
Pada tahun ini pementasan Kudho Manunggal bertempat di RT II, jatuh pada
hari Minggu, 19 Januari 2014, di halaman rumah ketua RT II, bapak Gunardi.
Pemtasan dimulai dari jam 10.00 Wib sampai dengan jam 17.30. Yang terdiri dari
lima babak.
Dalam setiap pementasannya paguyuban ini ternyata juga menyajikan
nyanyian syair/lagu dalam bahasa Jawa bernafaskan Islam serta mengandung
moral-moral keislaman apabila dilihat dari makna yang terkandung, selain itu
terdapat juga unsur-unsur berupa alat musik gamelan Jawa dan bentuk tari-tarian
yang indah dan mengandung makna-makna tersirat yang terwujud melalui
simbol-simbol tertentu. Sehingga kesenian kuda lumping ini tidak hanya
menyenangkan jika disaksikan, tetapi lebih dari itu yaitu menyangkut
makna-makna religius yang terkandung didalamnya. Karena dalam Islam dijelaskan
bahwa keindahan harus mengandung akhlak yang Islami. Dan perlu di garis bawahi
bahwa dalam membicarakan keindahan pasti akan ditemukan seni. Sehingga akan
menarik apabila dikaji tentang makna estetika Islam yang tekandung dalam salah
satu kesenian tradisional masyarakat Jawa, yaitu kesenian kuda lumping.
Tidak diketahui secara pasti
mengenai asal-usul permainan ini, karena telah disebut oleh banyak daerah
sebagai kekayaan budayanya. Hal ini terjadi karena si pencetusnya tidak mematenkan
permainan ini sehingga bisa dimainkan oleh siapapun.di Jawa
Timur saja seni ini akrab dengan masyarakat dibeberapa daerah,
sebut saja Malang, Nganjuk dan Tulungagung, disamping daerah-daerah lainnya.
Jika dilihat dari model permainan ini, yang menggunakan kekuatan dan
kedigdayaan, besar kemungkinan berasal dari daerah-daerah kerajaan di Jawa.
Panggung
rakyat dan perlawanan terhadap penguasa
Pada masa kekuasaan
pemerintahan Jawa dijalankan dibawah kerajaan, aspirasi dan ruang bergumul
rakyat begitu dibatasi, karena perbedaan klas dan alasan kestabilan kerajaan.
Meski dalam kondisi tertekan, rakyat tidaklah mungkin melakukan perlawanan
secara langsung terhadap penguasa. Rakyat sadar bahwa untuk melakukan perlawan,
tidak cukup hanya dengan bermodalkan cangkul dan parang, namun dibutuhkan
kekuatan dan kedigdayaan serta logistic yang cukup.
Menyadari hal itu, akhirnya luapan perlawanan yang berupa sindiran diwujudkan
dalam bentuk kesenian, yaitu kuda lumping. Sebagai tontonan dengan mengusung
nilai-nilai perlawanan, sebenarnya kuda lumping juga dimaksudkan untuk
menyajikan tontonan yang murah untuk rakyat. Disebut sebagai tontonan yang
murah meriah karena untuk memainkannya tidak perlu menghadirkan peralatan musik
yang banyak sebagaimana karawitan. Diplih kuda, karena kuda adalah simbol
kekuatan dan kekuasaan para elit bangsawan dan prajurit kerajaan ketika itu
yang tidak dimiliki oleh rakyat jelata. Permainan Kuda Lumping dimainkan dengan
tanpa mengikuti pakem seni tari yang sudah ada dan berkembang dilingkungan
ningrat dan kerajaan. Dari gerakan tarian pemainnya tanpa menggunakan pakem
yang sudah mapan sebelumnya menunjukkan bahwa seni ini hadir untuk memberikan
perlawanan terhadap kemapanan kerajaan.
Selain sebagai media perlawanan seni Kuda Lumping juga dipakai oleh
para ulama sebagai media dakwah, karena kesenian Kuda Lumping merupakan suatu
kesenian yang murah dan cukup digemari oleh semua kalangan masyarakat, seperti
halnya Sunan Kalijogo yang menyebarkan Islam atau dakwahnya lewat kesenian
Wayang Kulit dan Dandang Gulo, beliau dan para ulama jawa juga menyebarkan
dakwahnya melalui kesenian-kesenian lain yang salah satunya adalah seni kuda
lumping,
Bukti bahwa kesenian ini
adalah kesenian yang mempunyai sifat dakwah adalah dapat dilihat dari isi
cerita yang ditunjukan oleh karakter para tokoh yang ada dalam tarian Kuda
Lumping, tokoh-tokoh itu antara lain para prajurit berkuda, Barongan dan
Celengan. Dalam kisahnya para tokoh tersebut masing-masing mempunyai sifat dan
karakter yang berbeda, simbul Kuda menggambarkan suatu sifat keperkasaan yang
penuh semangat, pantang menyerah, berani dan selalu siap dalam kondisi serta
keadaan apapun, simbul kuda disini dibuat dari anyaman bambu,
anyaman bambu ini memiliki makna, dalam kehidupan manusia ada kalannya sedih,
susah dan senang, seperti halnya dengan anyaman bambu kadang diselipkan keatas
kadang diselipkan kebawah, kadang kekanan juga kekiri semua sudah ditakdirkan
oleh yang kuasa, tinggal manusia mampu atau tidak menjalani takdir kehidupan
yang telah digariskan Nya.
Barongan dengan raut muka yang
menyeramkan, matanya membelalak bengis dan buas, hidungnya besar, gigi besar
bertaring serta gaya gerakan tari yang seolah-olah menggambarkan bahwa dia
adalah sosok yang sangat berkuasa dan mempunyai sifat adigang,
adigung, adiguno yaitu sifat semaunnya sendiri, tidak kenal sopan
santun dan angkuh.
Celeng atau Babi hutan dengan
gayanya yang sludar-sludur lari kesana kemari dan memakan dengan
rakus apa saja yang ada dihadapanya tanpa peduli bahwa makanan itu milik atau
hak siapa, yang penting ia kenyang dan merasa puas, seniman kuda lumping
mengisyaratkan bahwa orang yang rakus diibaratkan seperti Celeng atau Babi
hutan.
Sifat dari para tokoh yang
diperankan dalam seni tari kuda lumping merupakan pangilon atau
gambaran dari berbagai macam sifat yang ada dalam diri manusia. Para seniman
kuda lumping memberikan isyarat kepada manusia bahwa di dunia ini ada sisi
buruk dan sisi baik, tergantung manusianya tinggal ia memilih sisi yang mana,
kalau dia bertindak baik berarti dia memilih semangat kuda untuk dijadikan
motifasi dalam hidup, bila sebaliknya berarti ia memlih semangat dua tokoh
berikutnya yaitu Barongan dan Celeng atau babi hutan.
Banyak orang yang salah paham
dalam memaknai seni Kuda lumping, mereka beranggapan bahwa para pelaku seni
kuda lumping adalah pemuja roh hewan seperti roh kuda, anggapan itu adalah
salah, simbul kuda disini hanya diambil semangatnya untuk memotifsi hidup, sama
halnya dengan seporter sepak bola di Indonesia, di kota Malang misalnya, mereka
menganggap bahwa dirinya adalah Singo Edan, seporter bola di Surabaya mereka
menamakan dirinya Bajol Ijo, bahkan Negara Indonesia sendiri menggunakan sosok
hewan sebagai lambang Negara yaitu seekor burung Garuda, yang kesemuanya itu
adalah nama-nama hewan, jadi merupakan hal yang salah bila kesenian Kuda
Lumping dianggap kelompok kesenian yang mendewakan hewan.
Sekelompok orang juga
beranggapan bahwa kesenian Kuda Lumping dengan dengan kemusyrikan karena
identik dengan kesurupan atau kalap, kemenyan, dupa dan bunga bungaan, anggapan
bahwa kuda lumping dekat dengan kemusyrikan adalah tidak benar, justru para
pelaku seni Kuda Lumping berusaha mengingatkan manusia bahwa di dunia ini ada
dua macam alam kehidupan, ada alam kehidupan nyata dan alam kehidupan Gaib hal
ini telah dijelaskan dalam Alqur`an surat Anas dan manusia wajib untuk
mengimaninya. Fenomena kalap atau kesurupan bisa terjadi dimana saja dan dapat
menimpa siapa saja, baik dikalangan arena Kuda Lumping maupun tempat-tempat
formal seperti Sekolahan atau Pabrik, hal itu tergantung pada kondisi fisik dan
Psikologis individu yang bersangkutan, sedangkan kemenyan, dupa dan
bunga-bungaan tidak lebih dari sekedar wewangian yang tidak pernah dilarang
dalam Islam bahkan dianjurkan penggunaanya.
Selain para tokoh yang telah
disebutkan, dalam kesenian kuda lumping warna juga memiliki makna, warna yang
dominan dalam kesenian ini ada tiga, warna merah, hitam dan putih,
masing-masing warna tersbut secara filosois juga memiliki makna yang berbeda,
warna merah melambangkan kebernian, kewibawaan dan semangat kepahlawanan, warna
putih melambangkan kesucian, makna kesucian disini adalah kesucian pikiran
dan hati yang akan direfleksikan dalam semua panca indera sehingga
menghasilakan suatu tindak-tanduk yang selaras dan dapat dijadikan panutan,
warna hitam adalah warna yang melambangkan alam kelanggengan, sehingga manusia
bebas untuk menenyukan pilihan warna untuk bekal menuju ke alam baka untuk
mempertanggung jawabkan kepada Dzat Yang Maha Kuasa.
Seni Kuda lumping merupakan
jenis kesenian rakyat yang sederhana, dalam pementasanya tidak diperlukan suatu
koreografi khusus serta perlengkapan peralatan gamelan seperti halnya
karawitan, gamelan untuk mengiringi seni kuda lumping cukup sederhana, hanya
terdiri dari dua buah kenong, satu buah kendang, dua buah gong dan sebuah
selompret, sajak-sajak yang dibawakan dalam mengiringi tarian semuanya
berisikan himbauan agar manusia senantiasa melakukan perbuatan baik dan selalu eling
ingat pada sang pencipta.
Secara filosofis masing-masing
alat musik yang digunakan dalam mengiringi tari kuda lumping juga memiliki
makna yang berbeda, terompet meningatkan bahwa akhir zaman akan ditandai dengan
ditiupnya terompet oleh malaikat Isrofil, maka sebelu ditiup terompet Malaikat
Isrofil sebaiknya kita memperhatikan ajakan dari kenong yang berbunyi ning enong, ning enong,
mempunyai makna ning endi, ning endi ( dimana berada), kendang berbunyi
ndang…ndang…tak…ndlab mempunyai makna yen wis titiwancine ndang-ndango
mangkat ngadeb marang pengeran yang mempunyai arti kalau sudah
waktunya cepat-cepat bangun menghadap tuhanmu, dalam melakukan
ibadah jangan suka ditunda-tunda. Gong yang berbunyi Gong, Gong, Gong memiliki
makna Agung, Agung, Agung (Allahu Akbar, Alllahu Akbar, Allahu Akbar). (pakne
Any dari berbagai sumber)